Please listen to Right Side of My Neck by Faye Webster while reading this fic! Narasi pake bahasa gak baku & broken english hehe <3 (ini fic cringe abis if u can’t stand it then leave this fic ASAP)
You said you can’t change your haircut, but it looks good anyway.
“Gyu, kamu beneran jadi potong rambut?” tanya Minghao penasaran, habisnya Mingyu tiba-tiba banget mau motong rambutnya yang udah gondrong itu. Padahal, menurut Minghao, cowoknya itu paling cakep kalau gondrong, jadi nambah aura 𝘨𝘰𝘭𝘥𝘦𝘯 𝘳𝘦𝘵𝘳𝘪𝘦𝘷𝘦𝘳-nya. Duh, kalau udah cinta mah susah, ya.
“Serius, sayang. Ah, kamu mah gak mendukung pilihanku banget,” balas Mingyu, mukanya cemberut banget karena ini udah ke sekian kalinya Minghao menanyakan pertanyaan itu.
Minghao tertawa karena reaksi Mingyu yang bikin Minghao ngebatin, 𝘢𝘥𝘶𝘩, 𝘱𝘢𝘤𝘢𝘳 𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘴𝘪𝘩 𝘬𝘢𝘮𝘶, 𝘭𝘶𝘤𝘶 𝘣𝘢𝘯𝘨𝘦𝘵.
Mingyu yang melihat pacarnya malah ketawa cantik spontan bilang, “Kamu kok malah ketawa, sih? Ketawamu itu lho bisa summon tumbuh-tumbuhan di sekitar sini.” (?????)
Mingyu aneh, ya? Tapi ketawa Minghao emang kelewat cantik dan gemas, Mingyu serasa lupa sama kekesalannya tadi.
He wasn't going to lie, but Mingyu really thought that the best part of dating Minghao was being able to freely enjoy his little laugh, his giggles, and every little thing he did that Mingyu found adorable.
“Gyu, apasih... Kamu hiperbola banget jadi orang,” jawab Minghao, pacarnya tuh emang lebay dan alay, “ini kenapa jadi bahas ketawaku deh?” lanjutnya.
“Karena kamu lucu dan gemes banget sebumi, sejagat raya, se-gen halilintar,” oceh Mingyu. Minghao rolled his eyes, he thought, mulai lagi nih kumatnya.
Mingyu menambahkan, “and I’m really going to cut my hair soon, Minghao,” He smiled, ah, too bright, “aren’t you excited?”
“Why not? Can’t wait for my boyfriend’s new look,” balas Minghao, “tapi aku bakal kangen rambut cowokku yang gondrong ini.”
Alis Mingyu sedikit terangkat, “Kamu secinta itu ya sama rambut gondrongku? Kenapa, sih? Biar bisa dijambak?” tanya Mingyu. Spontan banget pertanyaannya, sampai Minghao yang duduk di seberangnya melongo sebentar, baru jawab pertanyaan pacar kurang ajarnya itu. Si pacar malah masang wajah gak berdosa, seakan-akan pertanyaannya tadi itu biasa aja dan gak aneh.
Oh, about that, they sat across from each other in the cafe where Minghao's friend worked. It was only ten o'clock in the morning, and they had already decided to spend today—sunday, to be exact—on a date, enjoying each other's presence since the final exams would be upon them in the next few weeks.
“Gyu, kamu tuh! Emang kapan aku jambak kamu! Nanti aku dikira aniaya kamu lagi!” balas Minghao, raut wajahnya keliatan kesal setengah mati, lehernya udah merah banget, apalagi telinganya, jangan ditanya.
“Lah, maksud aku tuh pas kita—”
“Mingyu! Lu diem atau sini gue jambak beneran!” ancam Minghao, tangannya udah siap-siap megang garpu bekas makan matcha mille crepes-nya, mau ditodongin ke Mingyu kalau dia ngomong macam-macam lagi. Beruntung suasana cafe kecil dekat kampus mereka itu tergolong sepi, jadi dia bisa tenang karena kegilaan mereka gak akan dilihat banyak orang.
“Ya Tuhan... Galak banget sih kamunya...” cicit Mingyu, takut-takut kalau salah ngomong lagi bisa-bisa itu garpu melayang ke muka dia. Dia yakin badan besarnya itu gak akan berguna, deh, kalau udah berhadapan sama orang di hadapannya yang kontak WhatsApp-nya dia kasih nama ‘kecil dan galak’.
“Lagian kamu kalau ngomong suka gak difilter,” delik Minghao sambil menyesap sedikit minumannya, dia lalu menambahkan, “on a serious note, yes, i do like your long hair a lot, gyu.”
Alasannya sederhana aja, sih, karena rambut gondrong Mingyu itu serasa jadi saksi bisu tentang kisah cinta mereka selama satu tahun terakhir. Sebenarnya, hubungan mereka tuh gak melulu adem ayem, apalagi kalau udah disibukkan dengan tugas-tugas dan agenda kampus. Kebetulan, tahun ini hubungan mereka lagi chaos banget, rasanya seperti diuji Tuhan dengan cobaan yang sama berkali-kali. Jadi, untuk sampai di titik ini tuh perlu perjuangan banget. Setelah hadapin masa-masa childish mereka, bertengkar hampir tiap hari, saling diem-dieman, dan bahkan bertengkar hebat sampai keluar kata ‘putus’, Minghao masih gak percaya kalau akhirnya dia dan Mingyu bisa bertahan sampai di tahap sekarang, stabil dan baik-baik aja.
Ibarat kisah fiksi di AO3, additional tags mereka yang awalnya hurt/comfort tuh udah berubah jadi tooth-rotting fluff. (Rating mereka juga udah berubah dari Teen and Up Audiences jadi Mature.)
Bibir Mingyu terangkat sedikit, “Kalau aku potong rambut, nanti cintamu ke aku bakal berkurang gak?”
“Mm... Berkurang banyak, sih, gyu,” balas Minghao. Iseng aja, sih. Lagian pacarnya itu suka banget nanya pertanyaan yang udah jelas jawabannya apa.
“Yang, ah, jangan gitu atuh,” tuh, ‘kan, cemberut lagi mukanya.
“Bercanda, igyuuu. Kamu botak pun aku masih cinta seratus dua ratus tiga ratus persen,” jelas Minghao yang gak mau agenda kencan mereka hari ini berantakan kalau si Mingyu, pacar rewelnya ini ngambek.
Minghao didn't mind if Mingyu decided to cut his hair and go back to his old style. Minghao rasanya sedikit kangen ngelihat gaya rambut pacarnya dulu yang bisa buat dia jatuh cinta sampai sekarang.
Every fragment of the moments they had spent together felt so light, flowing like water and soothing his heart.
Salah satu tempat yang pasti mereka datangi kalau lagi nge-date itu Gramedia. Gramedia tuh udah jadi tempat favorit mereka kalau mau ngadem. Bagi Minghao, bagian terasik dari Gramedia itu dia bisa lihat dan baca-baca buku yang udah terbuka segelnya tanpa harus dibeli. Surga dunia banget, ‘kan? Kalau bagi Mingyu, sih, dia suka-suka aja ngelihat dan ngedengerin celotehan Minghao tentang buku, buku, dan buku. Sesekali Mingyu juga melihat-lihat buku-buku di sana, barangkali ada yang menarik perhatiannya.
“Kamu nyari buku apa, yang?” tanya Mingyu sambil menautkan telapak tangan mereka.
Minghao menggeleng, “Gak ada, sih, gyu. Aku mau lihat-lihat aja dulu. Kalau kamu gimana?” tanya Minghao balik. Yang ditanya cuma mengangkat bahunya, berkata kalau dia mau nemenin Minghao lihat-lihat buku aja.
“Gyu, liat deh. Lucu banget covernya, 𝘸𝘢𝘳𝘮 gitu suasananya,” seru Minghao, matanya tertuju pada salah satu buku di rak yang penuh berisi buku fiksi.
Mingyu menaikkan sedikit alisnya sambil membaca judul buku yang dimaksud kekasihnya itu, “Funiculi Funicula, Before The Coffe… Gets Cold. Tentang apa, yang?”
“Uh, bentar… tentang kafe sama penjelajah waktu gitu? Kamu sini, deh.”
Di sebuah gang kecil di Tokyo, ada kafe tua yang bisa membawa pengunjungnya menjelajahi waktu. Keajaiban kafe itu menarik seorang wanita yang ingin memutar waktu untuk berbaikan dengan kekasihnya, seorang perawat yang ingin membaca surat yang tak sempat diberikan suaminya yang sakit, seorang kakak yang ingin menemui adiknya untuk terakhir kali, dan seorang ibu yang ingin bertemu dengan anak yang mungkin takkan pernah dikenalnya.
Namun ada banyak peraturan yang harus diingat. Satu, mereka harus tetap duduk di kursi yang telah ditentukan. Dua, apa pun yang mereka lakukan di masa yang didatangi takkan mengubah kenyataan di masa kini. Tiga, mereka harus menghabiskan kopi khusus yang disajikan sebelum kopi itu dingin.
Rentetan peraturan lainnya tak menghentikan orang-orang itu untuk menjelajahi waktu. Akan tetapi, jika kepergian mereka tak mengubah satu hal pun di masa kini, layakkah semua itu dijalani?
“Yang memutar waktu buat bisa baikan sama pacarnya itu kita banget, deh, yang,” gumam Mingyu.
“Yeee, kalau kita mah gak perlu mutar waktu gyu.”
Mingyu tertawa kecil, dia berkata, “Iya juga, ya. Coba bayangin kalau waktu itu aku gak ke kosan-mu, kayaknya sekarang kita gak bakal ada di sini.”
“Aku gak mau bayanginnya.”
“Aku juga, sih. My life without you in it would be a disaster, hao.”
Katakan saja kalau Minghao ini lebay, tapi pikiran kalau saja waktu itu Mingyu gak datang ke kosannya tuh selalu bikin dia sedikit takut. Minghao bukan tipe orang yang gampang cemas dan 𝘰𝘷𝘦𝘳𝘵𝘩𝘪𝘯𝘬𝘪𝘯𝘨, tapi kalau tentang masalah yang satu ini, entah kenapa pikirannya — atau mungkin — hatinya, gak pernah ngasih waktu dia untuk tenang. Dia masih sering bertanya-tanya, gimana kalau waktu itu dia dan Mingyu lebih memilih untuk mentingin ego masing-masing? Mungkin Minghao gak akan pernah maafin dirinya sendiri karena bisa ngelepasin Mingyu dengan segitu mudahnya. Mungkin Minghao juga akan datang ke kafe tua itu untuk memutar balikkan waktu di hari di mana dia dan Mingyu berpisah.
“Kalau kamu dikasih pilihan buat balik ke masa lalu bakal kamu ambil gak?” tanya Minghao, dipikir-pikir ini topik menarik yang jarang mereka bahas selama ini.
“Susah, sih. Maksudku, ada banyak hal yang pengen aku ubah di masa lalu, tapi rasanya aku gak sanggup kalau disuruh buat ngehadapin itu lagi. Kayak yang aku baca di sinopsisnya, gimana kalau bahkan setelah aku balik ke masa lalu, gak ada yang berubah di masa sekarang? My life would be such a mess if I was always looking back at the past and not knowing about the good things that are actually happening in the present,”
Mingyu berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Makanya, hao, aku tuh gak suka kalau kamu selalu kebayang-bayang tentang waktu itu, malam itu, pokoknya hal buruk tentang aku, kamu, kita. I will always be by your side, I cross my heart.”
“Gak ada ya, gyu, aku mikirin yang jelek-jelek tentang kita…”
“I know everything about you, silly.”
Minghao menghela nafasnya, gak ada alasan lagi buat dirinya untuk menyangkal apa yang Mingyu bilang. “Iya, deh. I’ll try not to look at the past anymore. At least I have you by my side, so I guess it won’t be too hard. Just promise me you won’t leave me again.”
“You always know that I won’t leave you in the very first place.”
Gramedia date itu selalu seru bagi mereka. Rasanya jalan-jalan sambil pegangan tangan dan senyum-senyum sendiri kayak abg lagi kasmaran itu yang mereka butuhkan. Ada kalanya mereka ke sana cuma buat numpang foto doang, narsis banget emang. Entah bakal beli sesuatu atau gak, mereka suka aja ngobrol hal-hal random sambil lihat buku-buku di sana. Kadang mereka nemu banyak buku menarik tentang topik-topik yang jarang mereka temuin, dan itu selalu jadi perantara mereka buat lebih terbuka satu sama lain. Mingyu jarang baca buku, tapi semenjak ketemu Minghao, dia jadi lebih sering baca buku. He thought that reading books would make him feel connected to Minghao.
Katanya sih: Sometimes books can make you realize something that changes your life.
“Ada apa di kulkas?” tanya Mingyu. Habis dari Gramedia, mereka mutusin buat pulang karena Minghao capek. Baru aja masuk ke kosan Minghao, pacarnya itu langsung minta dimasakin, laper katanya.
“Apa ya… Jun kayaknya baru beli bahan masakan kemarin, deh,” ujar Minghao. Dia jarang masak di kosan, kalau gak take-away atau dimasakin pacarnya, ya dimasakin roommate-nya, Wen Junhui.
“Kasihan deh si Junpi harus kasih maem kamu terus,” Mingyu tertawa kecil lalu membuka pintu kulkas di hadapannya. Oke, ada susu, sereal, biskuit, keripik kentang, minuman kemasan, telur, dan… telur.
“Apaan deh, gak ada apa-apa tuh di kulkasmu?” tanya Mingyu spontan, dia gak percaya kalau kulkas dua sahabat itu isinya cuma telur. Gak mungkin Junhui kasih makan pacarnya telur terus, ‘kan?
“Lah, iya tah? Terus itu kemarin Jun belanja apaan sekresek… mana dia minta uangku juga… tapi kok kulkasnya kosong, sih?!” ujar Minghao, mukanya udah ketekuk banget, dijamin pas Junhui balik besok, dia bakal langsung dicecar sama sahabatnya ini.
“Waduh, yang, diporotin nih kamunya. Aku masakin nasi goreng aja, ya. Jangan cemberut gitu dong mukanya, kayak kucing.”
“Kucing apasih gyu… ayo masak, aku lapeeer,” rengek Minghao, kalau habis jalan pasti pulangnya bakal manja dan rewel banget. Mingyu gak pernah protes sih, soalnya Minghao gemesin.
“Iya semestaku… kamu duduk manis dulu di meja makan, aku masakin yang enak. Sabar ya,” ucap Mingyu. Lembut banget suaranya, Minghao jadi refleks duduk manis.
Masakan Mingyu tuh enak banget. Rasanya kayak masakan rumahan yang dibuatnya pakai cinta. Jadi, dia gak akan pernah bosan makan masakan cowoknya itu. Apalagi kalau Mingyu masakinnya tepat di depan dia, pake apron lagi, berasa dimasakin suami banget, ‘kan? Kalau kata Minghao, Mingyu udah gak masuk kategori Boyfriend Material lagi, tapi naik level jadi Husband Material. Minghao sering berpikir, 𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩𝘢𝘯, 𝘥𝘦𝘩, 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘨𝘢𝘬 𝘱𝘶𝘯𝘺𝘢 𝘔𝘪𝘯𝘨𝘺𝘶 𝘥𝘪𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱𝘯𝘺𝘢. 𝘠𝘢, 𝘥𝘪𝘢 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘨𝘢𝘬 𝘮𝘢𝘶, 𝘴𝘪𝘩, 𝘣𝘦𝘳𝘣𝘢𝘨𝘪 𝘔𝘪𝘯𝘨𝘺𝘶-𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘶𝘢𝘵 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘪𝘯.
Mingyu masih masak, tapi Minghao udah keburu bosan nungguin di meja makan. Jadi, dia berinisiatif buat nyamperin Mingyu ke dapur dan bantuin pacarnya masak. Rencana awalnya sih gitu, tapi begitu Minghao masuk dapur dan bilang mau bantuin masak, Mingyu spontan jawab ‘enggak boleh’.
“Aku tuh mau bantuin, lho?” ucap Minghao, padahal dia udah siap-siap mau pakai apronnya.
“Enggak usah, sayang… nanti kamu malah masukin gula ke nasi gorengnya kayak waktu kemarin,” ujar Mingyu memberi alasan sejelas mungkin, dia gak mau makan nasi goreng manis lagi, trauma.
“Ah males… kamu mah ungkit-ungkit itu aja terus,” Minghao cemberut banget mukanya, kepalanya disandarin di bahu si pacar, tapi tangannya gak dirangkul soalnya si pacar masih sibuk masak.
“Iya, deeeeh. Tapi beneran, hao, kamu duduk manis aja sana,” Mingyu tuh sebenarnya malu kalau diliatin masak sama pacarnya gini.
Minghao mengernyitkan dahinya, “Bisa-bisanya aku diusir dari dapurku sendiri…” ucapnya, jelas dia gak terima, dong.
Ngelihat pacarnya yang makin merajuk, Mingyu cuma ketawa lepas aja. Lucu, soalnya. Kapan lagi, sih, bisa ngelihat Minghao yang biasanya penyabar (sedikit), tenang, dan elegan itu berubah jadi rewel dan manja? Mingyu kadang bersyukur banget ini manusia satu jatuh cintanya sama dia, bukan orang lain.
“Iya, sayang, maaf deh. Kamu liatin aja ya aku masak, bentar lagi juga selesai, kok. Jangan recokin aku, lho…” ujar Mingyu lembut, lembut banget suaranya. Mingyu tuh mas-mas jawa coded banget, deh, pikir Minghao.
Minghao tiba-tiba mengalungkan tangannya di pinggang Mingyu, meluk dia dari belakang, terus kepalanya ditaruh di pundak Mingyu.
“Boleh gak sih aku panggil kamu ‘mas’?” tanya Minghao penasaran. Iseng aja, sih.
“Ngapain… kita kan bukan orang jawa, lagian kita seumuran juga, tuh?” jawab Mingyu. Emang jam-jam segini tuh rawan banget pembicaraannya.
“Ya, manggil mas gak harus orang jawa juga, kali. Soalnya lucu aja gitu ‘Mas Mingyu’.” ucap Minghao. Sebenarnya Mingyu gak tau, sih, bagian lucunya di mana. Tapi entah kenapa kalau Minghao yang manggil dia ‘Mas’, perutnya rasanya kayak kelilit karena suaranya pacarnya yang satu ini lucu banget. Demi kesehatan jantungnya, Mingyu lebih memilih untuk memutus topik tentang ‘Mas Mingyu’ ini sebelum ada hal mengenakkan terjadi.
“Udah, nih. Yuk, kamu duduk dulu, aku susah ambil piringnya.”
“Mm.. Okay.”
“Enak, yang?” tanya Mingyu. Mereka duduk berseberangan sambil makan nasi goreng telur sederhana buatan Mingyu.
Minghao mengambil sendok dan menyuap suapan pertamanya, “Enak, lah. ‘Kan kamu yang masak,” jawab Minghao yang langsung dihadiahi gelak tawa oleh Mingyu.
Mingyu cengengesan sambil bilang, “Lain kali aku masakain yang lebih fancy, deh. Lagian isi kulkasmu, tuh, dibawa kabur sama si Junpi.”
Minghao mengernyit, diam-diam mengutuk Junhui dalam hati, “Duh, jangan diingetin. Aku masih kesel.”
“Kesel dikit apa banyak?”
“… Kesel dikit soalnya udah dimasakin kamu.”
“Lucunyaaa,” mingyu nyengir lebar sambil acak-acak rambut pacarnya itu.
Minghao terkekeh, “Udah lama, ya, kita gak makan bareng,” ada jeda beberapa detik sebelum dia melanjutkan, “aku happy banget.”
“Aku juga happy, happy banget. Rasanya semua capekku kemarin hilang gara-gara liat kamu,” mingyu menatap nasi goreng di piringnya, lalu mengunci tatapannya pada Minghao.
Seolah mengerti apa arti dari tatapan Mingyu, Minghao menarik tangan Mingyu dan menggengam tangannya di atas meja makan, “sering-sering masakin aku, ya.”
Mingyu bepikir, gemesin banget pacarnya, “Tiap hari masak buat kamu juga aku bisa,” Mingyu melanjutkan, “besok temenin ke barbershop, ya, sekalian mampir ke exhibition papanya Vernon.”
“Oh iya, anaknya ngundang kita, ya,” Minghao jadi excited buat besok, “besok tuh kamu new hair, new me banget gak sih?”
Mingyu terkekeh, “new hair, new me, new us.”
“Aku suka kita yang dulu dan sekarang, sih.”
“Maksudku new United States.”
“Jokesmu jelek.”
“Sorry, deh…”
The right side of my neck,
Still smells like you.